AYAH AKAN SEGERA PULANG

 AYAH AKAN SEGERA PULANG


            Suasana pagi yang mulai sepi. Yang biasanya banyak kendaraan lalu-lalang di jalanan, kini jalan hanya tinggal kenangan. Aku keluar kamar dan melihat ayahku tengah bersiap untuk pergi sebagai pahlawan. Perkenalkan dia Wijaya, salah satu dokter yang ditugaskan untuk menangani musuh manusia saat ini. Tau siapa namanya? Ya, Corona namanya. Ayahku adalah pahlawan garda terdepan katanya. Dia rela menaruhkan nyawanya untuk menyembuhkan Indonesia. Pagi ini dia tengah bersiap-siap untuk menjadi pahlawan yang sesungguhnya. Hingga dia rela meninggalkan istri dan anak-anaknya. Ini dilakukan hanya demi menyelamatkan negara kita, Indonesia.

            Jam menunjukan pukul 7.30 waktunya dia pergi ke rumah sakit untuk melaksanakan tugasnya. Ibuku sudah dirumahkan oleh atasanya. Ini juga karena Corona penyebabnya. Aku dan adikku juga, sekolahku sudah daring (dalam jaringan). Ini juga karena dia (Corona). “Aku gak suka sama colona (Corona)” kata adikku saat dimeja makan. “Emang kenapa kamu gak suka sama Corona dek?” tanyaku. “Kata bu gulu (bu guru) pilus colona itu belbahaya, jadi aku tidak suka” jawab adikku dengan cadelnya. “Iya berbahaya, tapi kalau kita hati-hati dan menjaga kesehatan, Insyaallah kita akan sehat nak” sahut ibuku yang keluar dari kamar bersama ayah. Ayahku mencium keningku dan adikku tak lupa ia juga bersalaman dengan istrinya. “Ayah mau kemana?” tanya adikku. “Ayah mau kerja dulu ya” jawab ibuku. Aku bisa melihat dari raut muka ibu, bahwa dia juga sebenarnya tidak rela jika suaminya harus berhadapan langsung dengan pasien yang terpapar virus corona. Istri mana yang tega membiarkan suaminya bertaruh nyawa. Adikku mulai merengek karena ditinggal ayah kerja. Aku tahu ayahku juga pasti ingin sekali diam dirumah bersama keluarganya, tapi mau bagaimana lagi itu sudah janjinya sebagai tenaga kesehatan terhadap negaranya.

            Kini ayahku sudah pergi sebagai pahlawan garda terdepan. Tinggal kita semua mematuhi aturan kesehatan yang telah dianjurkan. Ibuku sibuk dengan kerjaan yang diberikan oleh atasanya. Aku dan laptopku sibuk dengan tugas yang telah guruku berikan. Dan adikku masih menangis dipojokan. Kucoba menenangkan adikku yang tengah nangis sesegukan itu sampai ia tertidur diatas pangkuanku. Setelah itu aku melanjutkan tugasku yang kutinggal tadi.

Mengerjakan tugas sampai tak teras jam sudah menunjukkan pukul 11.30 saja. Aku sudahi pekerjaanku, dan lanjut menengok adik yag tidur tadi. Ibuku juga sudah selesai dengan pekerjaannya. Aku dan ibuku menyiapkan makan siang dan menyiapkan vitamin untuk adik yang telah ayah belikan.

Pintu balkon kubuka, angin berhembus dengan kencang. Dan ayahku masih tidak bisa kuhubungi. Padahal sudah sedari tadi aku mencoba menelponnya. Ditelevisi presenter tiada hentinya menyiarkan virus Corona. Mereka terus mempresentasikan jumlah orang yang terkena virus ini. Dan di Indonesia kasusnya semakin menambah. Setiap hari kasus Corona di Indonesia semakin parah. Ibuku yang melihat berita itu pun mencoba menghubungi suaminya. Tapi masih saja tidak bisa ditelpon hpnya.

Semakin cemas hati ini. Memikirkan ayah yang tidak ada disini, melihat berita yang terus saja menyiarkan orang-orang meninggal karena Covid-19 ini, dokter yang tertular karena merawat pasien yang terpapar, dan sebagainya. Aku takut ayahku seperti dokter-dokter itu. Mana jam segini juga belum ada kabar. Hp ini kubawa kemana-mana tapi belum juga ada telpon masuk darinya. Adikku terbangun dari tidurnya dan bertanya “Ayah mana?” dengan nyawa yang belum terkumpul seutuhnya dia bertanya seperti itu. “Ayah masih kerja nak” jawab ibuku. Adikku kembali menangis mendengar ayahnya belum pulang. Ibu kemudian menangkan dia dan dia kembali tertidur. Kupikir itu lebih baik daripada membiarkannya terus menangis.

Aku masih kepikiran dengan berita tadi. Aku tanyakan ibuku, “Bu, kenapa ya ayah kok nggak angkat telpon aku dan ibu?”. “Mungkin ayahmu masih mengenakan pakaian astronot itu, makanya dia tidak mengangkat telpon” jawab ibu. “Tapi bu, aku takut apa yang terjadi dengan dokter-dokter itu terjadi pada ayah”. “Sudah, jangan takut, kita do’akan saja semoga ayahmu baik-baik saja dan semoga virus itu tidak suka pada tubuh ayahmu.” kata ibu menenagkan diriku. Tapi raut ibu tidak bisa bohong, kuyakin dia juga pasti kepikiran akan hal itu. Tapi dia harus tetap tegar didepan anak-anaknya agar mereka tidak ikut cemas.

 Hari semakin sore, dan ayah masih juga belum ada kabar . Ibuku masih mencoba menelponya untuk mengetahui bagaimana kabarnya. Sontak ibu bicara “Aku sudah tak tahan lagi mas, aku seperti ingin menjemputmu di rumah sakit itu” dengan nada agak keras. Tapi inilah konsekuensi istri seorang dokter, harus merelakan suaminya memenuhi janjinya.

 Jarum jam kali ini terasa berputar sangat lama. “Hii… hii… hii” adikku menangis lagi. Dia kembali menanyakan mengapa ayahnya belum pulang. Mungkin dia sudah kangen dengan ayahnya karena akhir-akhir ini ayah jarang bermain dengan adik. Mungkin ayah juga takut adik tertular virus yang dibawanya dari rumah sakit. Tapi, biasanya jam segini ayah sudah ada dirumah, tapi kali ini berbeda. Ayah, ayah kata itu terus disebut berulang-ulang oleh adikku. Ibu berjalan mendekati adik dan mengelus kepalanya sembari menjawab “Ayah akan segera pulang nak...”.



zidanabiyyu03

Komentar